50.000 EKTASI BISA HABIS TERJUAL DALAM WAKTU 10 HARI
Harga 1 Butir Ektasi Dibeli dari China Rp5000, Freddy Budiman Jual Ke Agen/ Bandar Indonesia 200 Ribu Perbutir, Dijual Ketempat Hiburan (Discotik) Rp250-350 Ribu Perbutir.
Freddy Budiman, Mafia Narkoba Lintas Negara |
Inilah cerita buram aparat negeri ini.
Maling teriak maling. Seperti cerita Bandar Narkoba lintas Negara ini, Freddy
Budiman, yang telah dihukum mati (Jumat (29/7/2016) di hadapan regu tembak di
Nusa kambangan. dinihari pukul 00.45.
Freddy Budiman, saat di kawal polisi. |
Aktivis, Kontras, Harris Azhar menulis
panjang cerita pengakuan Freddy Budiman, salah satu bandar kakap. Tulisan
Harris atas pengakuan Freddy Budiman mengungkap fakta-fakta yang jarang
diketahui banyak orang. Pada salah satu stasiun televisi, Fredy Budiman,
mengaku 50 butir ektasi asal China bisa habis terjual dalam waktu 10 hari,
Tulisan Harris ini diposting ulang Ulil Abshar Abdalla pada
Jumat (29/7/2016) dini hari. Berikut tulisan kesaksian Harris Azhar dari Freddy
Budiman.
"Cerita Busuk Dari Seorang Bandit"
Kesaksian bertemu Freddy Budiman di Lapas Nusa Kambangan (2014).
Di tengah proses persiapan eksekusi hukuman mati yang ketiga
dibawah pemerintahan Joko Widodo, saya menyakini bahwa pelaksanaan ini hanya
untuk ugal-ugalan popularitas. Bukan karena upaya keadilan. Hukum yang
seharusnya bisa bekerja secara komprehensif menyeluruh dalam menanggulangi
kejahatan ternyata hanya mimpi. Kasus Penyeludupan Narkoba yang dilakukan
Freddy Budiman, sangat menarik disimak, dari sisi kelemahan hukum, sebagaimana
yang saya sampaikan dibawah ini.
Di tengah-tengah masa kampanye Pilpres 2014 dan kesibukan saya
berpartisipasi memberikan pendidikan HAM di masyarakat di masa kampanye pilpres
tersebut, saya memperoleh undangan dari sebuah organisasi gereja. Lembaga ini
aktif melakukan pendampingan rohani di Lapas Nusa Kambangan (NK). Melalui
undangan gereja ini, saya jadi berkesempatan bertemu dengan sejumlah narapidana
dari kasus teroris, korban kasus rekayasa yang dipidana hukuman mati. Antara
lain saya bertemu dengan John Refra alias John Kei, juga Freddy Budiman,
terpidana mati kasus Narkoba. Kemudian saya juga sempat bertemu Rodrigo
Gularte, narapidana WN Brasil yang dieksekusi pada gelombang kedua (April
2015).
Saya patut berterima kasih pada Bapak Sitinjak, Kepala Lapas NK
(saat itu), yang memberikan kesempatan bisa berbicara dengannya dan bertukar
pikiran soal kerja-kerjanya. Menurut saya Pak Sitinjak sangat tegas dan
disiplin dalam mengelola penjara. Bersama stafnya beliau melakukan sweeping dan
pemantauan terhadap penjara dan narapidana. Pak Sitinjak hampir setiap hari
memerintahkan jajarannya melakukan sweeping kepemilikan HP dan senjata tajam.
Bahkan saya melihat sendiri hasil sweeping tersebut, ditemukan banyak sekali HP
dan sejumlah senjata tajam.
Tetapi malang Pak Sitinjak, di tengah kerja kerasnya membangun
integritas penjara yang dipimpinnya, termasuk memasang dua kamera selama 24 jam
memonitor Freddy budiman. Beliau menceritakan sendiri, beliau pernah beberapa
kali diminta pejabat BNN yang sering berkunjung ke Nusa Kambangan, agar
mencabut dua kamera yang mengawasi Freddy Budiman tersebut.
Saya mengangap ini aneh, hingga muncul pertanyaan, kenapa pihak
BNN berkeberatan adanya kamera yang mengawasi Freddy Budiman? Bukankah status
Freddy Budiman sebagai penjahat kelas “kakap” justru harus diawasi secara
ketat? Pertanyaan saya ini terjawab oleh cerita dan kesaksian Freddy Budiman
sendiri.
Menurut ibu pelayan rohani yang mengajak saya ke NK, Freddy
Budiman memang berkeinginan bertemu dan berbicara langsung dengan saya. Pada hari
itu menjelang siang, di sebuah ruangan yang diawasi oleh Pak Sitinjak, dua
pelayan gereja, dan John Kei, Freddy Budiman bercerita hampir 2 jam, tentang
apa yang ia alami, dan kejahatan apa yang ia lakukan.
Freddy Budiman mengatakan kurang lebih begini pada saya:
Freddy Budiman mengatakan kurang lebih begini pada saya:
“Pak Haris, saya bukan orang yang takut mati, saya siap dihukum
mati karena kejahatan saya, saya tahu, resiko kejahatan yang saya lakukan.
Tetapi saya juga kecewa dengan para pejabat dan penegak hukumnya.
“Saya bukan bandar, saya adalah operator penyeludupan narkoba
skala besar, saya memiliki bos yang tidak ada di Indonesia. Dia (bos saya) ada
di Cina. Kalau saya ingin menyeludupkan narkoba, saya tentunya acarain (atur)
itu. Saya telepon polisi, BNN, Bea Cukai dan orang-orang yang saya telpon itu
semuanya nitip (menitip harga). Menurut Pak Haris berapa harga narkoba yang
saya jual di Jakarta yang pasarannya 200.000 – 300.000 itu?”
Saya menjawab 50.000. Fredi langsung menjawab:
“Salah. Harganya hanya 5.000 perak keluar dari pabrik di Cina. Makanya saya tidak pernah takut jika ada yang nitip harga ke saya. Ketika saya telepon si pihak tertentu, ada yang nitip Rp 10.000 per butir, ada yang nitip 30.000 per butir, dan itu saya tidak pernah bilang tidak. Selalu saya okekan. Kenapa Pak Haris?”
“Salah. Harganya hanya 5.000 perak keluar dari pabrik di Cina. Makanya saya tidak pernah takut jika ada yang nitip harga ke saya. Ketika saya telepon si pihak tertentu, ada yang nitip Rp 10.000 per butir, ada yang nitip 30.000 per butir, dan itu saya tidak pernah bilang tidak. Selalu saya okekan. Kenapa Pak Haris?”
Fredy menjawab sendiri. “Karena saya bisa dapat per butir
200.000. Jadi kalau hanya membagi rejeki 10.000- 30.000 ke masing-masing pihak
di dalam institusi tertentu, itu tidak ada masalah. Saya hanya butuh 10 miliar,
barang saya datang. Dari keuntungan penjualan, saya bisa bagi-bagi puluhan
miliar ke sejumlah pejabat di institusi tertentu.”
Fredy melanjutkan ceritanya. “Para polisi ini juga menunjukkan sikap main di berbagai kaki. Ketika saya bawa itu barang, saya ditangkap. Ketika saya ditangkap, barang saya disita. Tapi dari informan saya, bahan dari sitaan itu juga dijual bebas. Saya jadi dipertanyakan oleh bos saya (yang di Cina). Katanya udah deal sama polisi, tapi kenapa lo ditangkap? Udah gitu kalau ditangkap kenapa barangnya beredar? Ini yang main polisi atau lo?’”
Fredy melanjutkan ceritanya. “Para polisi ini juga menunjukkan sikap main di berbagai kaki. Ketika saya bawa itu barang, saya ditangkap. Ketika saya ditangkap, barang saya disita. Tapi dari informan saya, bahan dari sitaan itu juga dijual bebas. Saya jadi dipertanyakan oleh bos saya (yang di Cina). Katanya udah deal sama polisi, tapi kenapa lo ditangkap? Udah gitu kalau ditangkap kenapa barangnya beredar? Ini yang main polisi atau lo?’”
Menurut Freddy, “Saya tau pak, setiap pabrik yang bikin narkoba,
punya ciri masing-masing, mulai bentuk, warna, rasa. Jadi kalau barang saya
dijual, saya tahu, dan itu ditemukan oleh jaringan saya di lapangan.”
Fredi melanjutkan lagi. “Dan kenapa hanya saya yang dibongkar?
Kemana orang-orang itu? Dalam hitungan saya, selama beberapa tahun kerja
menyeludupkan narkoba, saya sudah memberi uang 450 Miliar ke BNN. Saya sudah
kasih 90 Milyar ke pejabat tertentu di Mabes Polri. Bahkan saya menggunakan
fasilitas mobil TNI bintang 2, di mana si jendral duduk di samping saya ketika
saya menyetir mobil tersebut dari Medan sampai Jakarta dengan kondisi di bagian
belakang penuh barang narkoba. Perjalanan saya aman tanpa gangguan apapun.
“Saya prihatin dengan pejabat yang seperti ini. Ketika saya
ditangkap, saya diminta untuk mengaku dan menceritakan dimana dan siapa
bandarnya. Saya bilang, investor saya anak salah satu pejabat tinggi di Korea
(saya kurang paham, korut apa korsel- HA). Saya siap nunjukin dimana pabriknya.
Dan saya pun berangkat dengan petugas BNN (tidak jelas satu atau dua orang).
Kami pergi ke Cina, sampai ke depan pabriknya. Lalu saya bilang kepada petugas
BNN, mau ngapain lagi sekarang? Dan akhirnya mereka tidak tahu, sehingga kami
pun kembali.
“Saya selalu kooperatif dengan petugas penegak hukum. Kalau
ingin bongkar, ayo bongkar. Tapi kooperatif-nya saya dimanfaatkan oleh mereka.
Waktu saya dikatakan kabur, sebetulnya saya bukan kabur. Ketika di tahanan,
saya didatangi polisi dan ditawari kabur, padahal saya tidak ingin kabur,
karena dari dalam penjara pun saya bisa mengendalikan bisnis saya. Tapi saya
tahu polisi tersebut butuh uang, jadi saya terima aja. Tapi saya bilang ke dia
kalau saya tidak punya uang. Lalu polisi itu mencari pinjaman uang kira-kira 1
miliar dari harga yang disepakati 2 miliar. Lalu saya pun keluar. Ketika saya
keluar, saya berikan janji setengahnya lagi yang saya bayar. Tapi beberapa hari
kemudian saya ditangkap lagi. Saya paham bahwa saya ditangkap lagi, karena dari
awal saya paham dia hanya akan memeras saya.”
Freddy juga mengekspresikan bahwa dia kasihan dan tidak terima
jika orang-orang kecil, seperti supir truk yang membawa kontainer narkoba yang
justru dihukum, bukan si petinggi-petinggi yang melindungi.
Kemudian saya bertanya ke Freddy dimana saya bisa dapat cerita
ini? Kenapa Anda tidak bongkar cerita ini? Lalu Freddy menjawab:
“Saya sudah cerita ke lawyer saya, kalau saya mau bongkar, ke
siapa? Makanya saya penting ketemu Pak Haris, biar Pak Haris bisa menceritakan
ke publik luas. Saya siap dihukum mati, tapi saya prihatin dengan kondisi
penegak hukum saat ini. Coba Pak Haris baca saja di pledoi saya di pengadilan,
seperti saya sampaikan di sana.”
Lalu saya pun mencari pledoi Freddy Budiman, tetapi pledoi
tersebut tidak ada di website
Mahkamah Agung. Yang ada hanya putusan yang tercantum di website tersebut. Putusan tersebut juga tidak mencantumkan informasi yang disampaikan Freddy, yaitu adanya keterlibatan aparat negara dalam kasusnya.
Mahkamah Agung. Yang ada hanya putusan yang tercantum di website tersebut. Putusan tersebut juga tidak mencantumkan informasi yang disampaikan Freddy, yaitu adanya keterlibatan aparat negara dalam kasusnya.
Kami di KontraS mencoba mencari kontak pengacara Freddy, tetapi
menariknya, dengan begitu kayanya informasi di internet, tidak ada satu pun
informasi yang mencantumkan dimana dan siapa pengacara Freddy. Dan kami gagal
menemui pengacara Freddy untuk mencari informasi yang disampaikan, apakah masuk
ke berkas Freddy Budiman sehingga bisa kami mintakan informasi perkembangan
kasus tersebut. (*) (BY: OPOSISI KEPRI)